" F l o w e r "

flaw

Hai Welcome Here


" Cerita ini bukan tentang aku, kamu, ataupun dia. Ini tentang kita "

We can chatting here

<




Takut...}
26/05/14 | 03.35.00 | 0Comment



5 bulan sejak perkenalan kita…
Aku takut, perpisahan yang semakin dekat sedang menunggu kita di depan sana..

Aku harus bagaimana? Semua perilakumu kepadaku tak memberiku titik terang sama sekali. Perkenalan kita terlalu singkat untuk memunculkan rasa di hatimu. Sementara itu, kau tahu? Perasaan di hatiku telah berbunga, tumbuh lebat dengan akar yang mengikatnya dengan kuat. Haruskah ku tumbangkan perasaan itu? Demi rasa takutku akan kamu yang tidak memiliki perasaan yang sama denganku?

Rasa tertarikku akan dirimu sudah muncul ketika aku untuk pertama kalinya melihatmu, sekitar satu setengah tahun yang lalu. Kamu yang berdiri tegak dan tinggi, berjalan di depanku. Entah apa mengapa dan bagaimana, tanpa perlu aku melihat wajahmu, dirimu tampak berbeda dengan yang lainnya. Entah jurus apa yang kamu gunakan, aku semakin tertarik untuk mencari tahu akan dirimu.

Semua berjalan dan semua diatur oleh takdir. Aku yang ditakdirkan untuk melihatmu, kamu yang ditakdirkan untuk muncul dan lenyap dihadapanku.

Sekarang, kita sudah terbiasa saling berkirim pesan singkat. Setiap malam, sebelum tidur. Menggunakan kata-kata singkat, tapi manis. sampai-sampai kita berdua tak sadar bahwa malam bergulir dengan cepat. Aku bahagia, dengan sedikit perhatianmu dapat membuatku tidur dengan nyenyak.

Tapi aku sadar. Hanya aku yang selalu mencari tahu tentang kamu, kamu? Tidak, kamu sangat jarang mencari tahu tentang ‘aku’. Tentang siapa aku, tentang kesibukanku, tentang hal-hal kecil seperti tanggal lahirku atau makanan kesukaanku. Pesan singkat kita mengalir karena aku. Karena aku yang selalu mencari bahan pembicaraan. Karena aku yang selalu mengawalinya. Dan kamu hanya perlu menjawab singkat dan membiarkanku pusing untuk mencari bahan pembicaraan yang lain. Dan kamu yang selalu membuatku menunggu dan menahan rindu untuk tidak mengirimimu pesan singkat agar kamu yang mengirimiku pesan singkat terlebih dulu, bukan aku yang lebih dulu mengirimimu pesan singkat.

Aku tahu, sejak awal seharusnya aku tak mencari tahu akan dirimu. Aku tahu, sejak awal kamu hanya menganggapku seseorang yang tak berarti apa-apa.

Aku begitu bodoh jika di hadapanmu, iya kan? Aku tahu, aku tahu itu dengan pasti…

Semua mengalir begitu datar, tak ada jurang apalagi bukit. Hanya hamparan kosong yang kita lalui, tak memberi kesan apalagi rasa. Itu yang aku takutkan. Aku takut, apa yang akan terjadi dengan kita setelah hamparan kosong ini kita lewati. Semua tempat, waktu, dan rasa punya akhir, kan?

Lihat itu, hamparan kosong yang melelahkan ini akan berakhir..
Dan aku tak tahu harus apa, haruskah aku sedih atau senang?
 Atau, haruskah aku mengatakan semuanya kepadamu? Tentang ketertarikanku akan dirimu? Atau, haruskah aku menemukan hamparan kosong yang baru, untuk kita lewati bersama lagi?

Aku sakit, aku sakit oleh perasaan yang aku buat sendiri. Aku takut, takut oleh bayangang-bayangan maya yang ku cipta sendiri.

Perkenalan kita memang masih terlalu singkat jika dihitung waktu. Kekuatan yang aku punya juga belum sepenuhnya muncul. Tapi entah mengapa, rasa sakit, rindu, takut lebih dulu tumbuh dari pada itu semua. Tolong aku, aku harus apa?

Aku tak ingin semua ini berlalu riang seperti angin. Tak berbekas, tak memberi kesan apa-apa. Aku hanya ingin meninggalkan sedikit saja goresan di hidupmu, sebagai pertanda aku pernah ada di dekatmu. Aku tak tahu apakah ini perpisahan atau hanya kesempatan kita bertemu yang semakin dipersulit oleh jarak. Yang aku tahu, setelah ini, kita akan sulit untuk bertemu. Kalau begitu, rasa itu juga akan semakin sulit untuk tumbuh di hatimu, kan?

Aku hanya tak ingin menyerah memperjuangkanmu, memperjuangkan rasa ini. Aku hanya ingin engkau tahu akan perasaan yang tumbuh tak beraturan ini. Tapi aku juga tak siap untuk mendengarkan jawabanmu, tak siap untuk menerima resiko terburuk. Aku memang pengecut, tapi menjadi pengecut karena takut kehilangan bukan sesuatu yang jelek, kan?

Aku tak tahu takdir akan membawa kita kemana. Mungkin aku harus menunggu, sampai kamu yang memberitahuku akan perasaan yang ada di hatimu.

Semoga saja kamu mengatakannya sebelum kita tiba di gerbang perpisahan itu..

Kamu tahu? Aku akan menunggumu, pasti..

Label:


}
27/03/14 | 02.06.00 | 0Comment

rek, maaf kalau g lengkap
kalau diliat di google docs nya yg gambar rada eror berantakan gimana gitu seh, nyoba download dulu aja.. kalau emang eror ya ditata sendiri, hehe :p

maaf kalau banyak kekurangan, kata pak sayyidi semua dibuku, jadi cuma nyoto buku :D

a. Kisi-kisi UM SBK dan jawabannya
jawaban kisi-kisi sbk

b. Lampiran gambar kisi-kisi SBK
gambar sbk

yang gambar g tak jadiin satu rek, kalau mau ya download, siapa tahu besok keluar gambar

sekian, makasih :)

Label:


Malang, Rabu sore hari [hujan deras]}
12/03/14 | 08.47.00 | 0Comment



Langit yang begitu gelap membuat suasana kota ini menjadi aneh. Lampu-lampu bewarna kuning keemasan mulai menyala di setiap sisi jalan. Aku berjalan menyusuri trotoar. Menengok ke kiri sesekali, berusaha mencari angkutan umum yang dapat membawaku pergi ke tempat tujuan. Sebuah angkutan umum yang menuju tempat tujuanku terlihat, aku melambaikan tangan. Tidak berhenti.

“Ah! Ayolah, aku harus mengejar seseorang!” umpatku setelah melihat mobil biru itu pergi dengan kencangnya.

Aku kembali menunggu, kembali menahan emosiku. Berharap angkutan umum yang sama akan segera datang menjemputku. Titik demi titik air mulai turun membasahi kota Malang. Sontak aku segera mengambil payung bewarna hitam dari dalam tasku. Tiba-tiba angkutan umum yang ku cari muncul, ku lambaikan tanganku sembari berharap. Syukurlah tuhan mendengar doaku, angkutan umum itu berhenti perlahan.

Hujan di sore itu turun dengan derasnya setelah aku menaiki angkutan umum itu. Aku melihat pemandangan yang ada di balik jendela angkutan umum yang kunaiki. Kota Malang tak pernah kehilangan pohon rindangnya. Selalu menyajikan panorama sejuk dan indah setiap harinya. Kuamati semua yang dapat aku lihat; rintik hujan, orang yang berteduh, payung berwarna-warni, sebagainya.

Kulirik jam di tanganku, berdesah pelan. Berharap orang yang kukejar masih dapat aku temui. Bodoh! Mana mungkin ia akan menungguku? Saat hujan seperti ini, semua orang ingin cepat-cepat berada di rumah. Mana mungkin ia mau menungguku dengan basah-basahan seperti itu? Hanya orang bodoh, yang mau menungguku; orang yang sama sekali tidak penting dalam hidupnya
.
Hatiku berharap, logikaku menyangkal. Aku hanya diam, dan pasrah.

“kiri,” ucapku dan ku berikan selembar uang dua ribu perak yang ada di tanganku.

Payungku terbuka, aku melangkah dengan menjinjing rok panjangku. Berusaha melindungi barang yang ku bawa dari serangan air yang jatuh dari langit itu. Kutolehkan sejenak kepalaku, mencari-carimu di tengah kerumunan orang-orang yang sedang berteduh. Sekali lagi berharap, kau tidak meninggalkanku. Aku tersenyum, kau sama sekali tidak terlihat di dalam pandanganku.

Aku kembali melangkah perlahan, menuju perempatan lampu merah untuk menyebrang. Tinggal satu lagi angkutan umum yang harus kutumpangi untuk sampai di rumah. Lampu hijau berganti lampu merah. Aku menyebrangi jalan, memegang payungku dengan erat agar tak kalah dengan angin. Sepatuku yang basah membuatku risih saat berjalan, tapi aku tetap berusaha cepat menyebrangi jalan itu.

Angkutan umum itu terlihat, dan lagi-lagi ia tidak berhenti. Aku berusaha tetap tersenyum dan bersabar, berpikiran semua yang ku lalui pasti ada hikmahnya. Tubuhku menggigil kedinginan. Payung kecil itu tak sanggup untuk melilndungiku dan tas yang ada di punggungku. Hujan ini memang lebih deras daripada yang biasanya.

Ku lambaikan tanganku lagi ketika angkutan umum yang ku tunggu lewat di depanku. Aku melangkahkan kakiku, menaiki mobli berwarna biru khasnya. Sepi, hanya ada supir dan satu penumpang. Angkutan umum itu berjalan sebentar, dan berhenti, menunggu ada orang yang akan naik ke dalamnya. Aku menunggu dengan diam didalam angkutan itu, tidak terlalu terburu-buru seperti tadi. Tujuanku sekarang bukan mengejar seseorang, tapi pulang untuk melepaskan segala letih yang aku rasakan.

Penumpang berikutnya adalah, kamu.

Aku tersenyum, berusaha menyembunyikan senyumku yang sangat lebar itu. Jadi kamu belum meninggalkanku? Bodoh! 

Bodoh, tapi manis. Aku tersenyum, lebih lebar.

Kau masuk ke dalam dengan keadaan basah kuyup. Rambutmu, kacamatamu, baju dan tas yang kamu pakai. Kamu menyisir rambutmu dengan jemari-jemari panjangmu. Kacamatamu yang basah kau lepas dan kau genggam. Butir-butir air yang tadi menghiasi wajahmu, hilang berganti dengan wajahmu yang lebih tampan sekarang.

Angkutan umum itu berjalan dengan keheningan. Tidak ada yang mulai menyapa, kau ataupun aku. Aku yang terlalu takut untuk menyapamu, walau sudah berkali-kali kita bertatap muka seperti ini. Kau juga diam saja, seperti tidak ingin berbicara. Sedikit kecewa memang, tapi tak apalah jika memang kita hanya bisa bercakap lewat pesan singkat. 

Aku sibuk melihat genangan air di jalan. Genangan setinggi mata kaki terlihat di setiap jalan yang dilewati angukutan itu. Banjirkah? Hujan ini memang deras, tetapi mengapa bisa hingga seperti itu? Setahuku, Malang tak pernah banjir, sekalipun itu hujan yang paling deras. Mengapa jadi seperti ini? Apakah Malang akan terus seperti ini, seperti Jakarta? Bukankah beberapa bulan yang lalu ada perbaikan gorong-gorong? Ah, Malang bukan kota yang indah seperti dulu lagi. Malang berubah, semakin padat, semakin panas.

Sesekali aku melihat ke arahmu, kamu juga sibuk melihat air hujan itu. Kekecewaan menghampiriku, lagi. Sampai kapan kita akan begini? Terus diam, tak pernah saling sapa, berbicara pada hati sendiri. Sibuk pada pikiran yang ada di otak masing-masing. Membiarkan waktu yang singkat ini habis oleh kesunyian dan derasnya hujan. Tetap diam, seperti tidak saling mengenal.

Mungkin benar, kau tadi tak menungguku. Mungkin kau menunggu cerah, menunggu munculnya matahari sebagai pengganti awan hitam ini. Menunggu hujan reda, bukan menunggu seorang perempuan yang bukan siapa-siapa dalam hidupmu. Bukan menunggu seorang perempuan, yang tidak berani menyapamu saat kita bertemu. Kau hanya menunggu hujan berhenti, sehingga kau tidak akan kebasahan dan sakit.

Mungkin harapanku tadi memang terkabul, aku memang bisa bertemu denganmu sekarang ini, seperti yang ku mau. Tapi jika seperti ini, kecewa, hanya itu yang kurasakan. Sejujurnya, aku harus bersyukur. Aku masih diberi kesempatan oleh tuhan untuk melihatmu dengan jarak sedekat ini. Aku yang tak tahu diri, selalu meminta yang lebih. Manusia memang serakah.

Tetap sunyi, tetap diam, tetap berpura-pura untuk tidak saling kenal.

Waktu yang singkat berubah menjadi lebih singkat. Sebentar lagi kau akan turun, dan kita tetap akan saling diam seperti ini? Jawabannya, iya. Kau tidak berbicara, aku tidak berbicara, saling mementingkan rasa malu. 

“kiri,” ucapmu, turun dan menyerahkan uang kepada sang sopir. Kau berlari, tanpa menoleh ke belakang untuk melihatku.

Aku tersenyum, berharap kau akan menoleh. Tapi, hingga angkutan umum ini melaju kembali, kau terus berlari hingga asa-mu tak terlihat olehku. Aku menghela nafas. Mencoba merelakanmu, merelakan kekecewaan yang ada di hatiku. Memperhatikan lagi air berwarna coklat mengalir dengan derasnya. Melawan semua yang menghalanginya.

Andai perasaanku ini bisa terbawa oleh air itu. Menuju ke sungai, mengalir ke laut, dan akhirnya menguap menjadi awan dan terbang bersama angin. Suatu saat akan kembali lagi, dalam hujan seperti ini, percuma.

Biarkan kejadian sore ini, ditonton hujan. Mungkin itu yang ia mau,sengaja  mempertemukan kita dan melihat kita saling diam. Terus diam hingga akhirnya kita benar-benar berpisah.

Label:


Sepucuk surat salam ‘Perpisahan’}
09/03/14 | 07.34.00 | 0Comment



Hai

Kalau aku boleh jujur, aku bingung apa yang harus ku tulis untuk mengawali surat ini. Haruskah aku memperkenalkan diriku? Atau menyapa namamu? Atau langsung ke intinya saja? Butuh waktu berjam-jam menulis surat ini. Berlembar-lembar kertas pada akhirnya terbuang begitu saja di tempat sampah, hanya karena aku merasa tak puas dengan surat yang ku tulis.


Dan akhirnya, aku memutuskan untuk mengawali dengan sapaan ‘hai’. Berjam-jam untuk akhirnya memutuskan menggunakan sapaan yang sangat singkat itu. Dan juga kuputuskan, surat ke- (mungkin) 50 ini yang akan terpilih untuk ku kirimkan kepadamu.


Sebenarnya tak banyak yang ingin ku katakan dalam surat ini, mungkin aku terlalu takut kamu tidak akan membacanya. Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal kepadamu. Masaku di sekolah ini hampir habis, bisa dihitung dengan jari. Aku hanya takut, tidak dapat mengucapkan selamat tinggal sebelum aku benar-benar pergi dari sisimu.


Satu tahun belakangan ini, aku berusaha memberanikan diri. Memberanikan diri untuk bertanya siapa namamu, menanyakan nomor hp-mu, berusaha menyapamu sebanyak yang ku bisa. Belum genap satu tahun, ketika aku pertama kali melihatmu melalui kedua bola mataku. Sampai sekarang, wajahmu belum juga hilang dari ingatanku. Aku tak bisa berkata bahwa usahaku satu tahun ini berhasil ataupun gagal, semua semi.

Maafkan aku yang terlalu lancang untuk mengirimimu surat ‘sampah’ ini. Terlalu bodoh jika aku berharap kau akan membaca surat ini. Bahkan, untuk membalas pesan singkatku pun kau tak melakukannya. Apakah masih mungkin kau akan membaca surat kosong panjang yang tak bernilai ini? Apakah aku masih bisa berharap kau akan membalasnya?


Untuk seseorang yang lebih tua darimu, aku bisa dibilang tak tahu diri. Nyatanya, menyukai seseorang yang lebih muda adalah hal yang jarang. Brondong, itulah yang selalu dikatakan temanku tentangmu. Aku tak pernah peduli akan hal itu, awalnya. Aku berpikir, toh umur juga bukan penghalang. Aku mulai menyukaimu. Menyukai wajahmu, perilakumu, senyummu, muka dinginmu, semuanya. Dan saat aku sadar, aku telah jatuh cinta terlalu dalam kepadamu. Membiarkan gerbang hati ini terbuka lebar, mempersilahkan engkau masuk dan duduk di singgasananya.


Aku mulai mencoba mengumpulkan keberanianku, mencari tahu namamu. Dan aku berhasil, aku bertanya padamu. Lalu aku mulai mencari nomor hp-mu, mencari segalanya tentang dirimu. Bahkan, aku berani mengirimu pesan dan berani berharap kau akan membaca serta membalas pesan singkatku.

Cerita dalam mimpiku berkembang begitu pesat. Memberiku keberanian untuk berharap yang lebih besar kepadamu. Membuatku serasa dapat menembuh semua lapisan atmosfir bumi ini. Cerita yang terlalu indah untuk kukatakan. Sekali lagi, itu dalam mimpiku.


Di kenyataannya, kau terlalu berbeda. Sikapmu yang dingin itu, yang pada awalnya membuatku jatuh hati padamu, pada akhirnya membuatku terluka. Harapan yang terlalu besar membuatku jatuh ke jurang yang paling dalam. Berbagai pesan singkat ku kirimkan padamu dengan satu tujuan, agar kau mau menjawabnya. Tapi sepertinya, tidak kau hiraukan sama sekali.


Aku tak tahu apakah kau tidak menyadari keberadaanku atau tidak tertarik untuk mencari tahu tentangku? Atau mungkin, kau sadar akan keberadaanku, tapi memang kau sengaja menghindariku? Aku tidak tahu. Lebih tepatnya tidak ingin tahu, terlalu sakit jika pada akhirnya aku mengetahui alasanmu yang sebenarnya.

Tidak jarang aku melihatmu melirik kepadaku saat aku lewat di depanmu. Dengan tatapan dingin yang menawan itu, aku tetap tidak tahu apa yang tersirat dari matamu. Aku berusaha tetap berpikir positif, bahwa kau akan membalas perasaanku. Terlalu naif memang.


Untuk saat ini, aku sudah tak berani berharap lagi. Kau memang tak pernah membalas perasaanku, aku yang terlalu berkhayal tinggi. Mungkin seharusnya aku sudah merasa cukup hanya dapat memandangimu, tak perlu berharap lebih.


Selamat tinggal. Untuk semuanya. Aku tak akan melupakanmu. Kau akan menjadi sejarah di hidupku.

Dan untuku terakhir kalinya, mungkin aku boleh berharap, bisakah kita bertemu lagi, mungkin suatu saat?


Untuk adik kelasku yang dingin dan tampan,

dari kakak kelasmu dengan khayalannya yang menembus atmosfir.
 

Label: