" F l o w e r "

flaw

Hai Welcome Here


" Cerita ini bukan tentang aku, kamu, ataupun dia. Ini tentang kita "

We can chatting here

<




Malang, Rabu sore hari [hujan deras]}
12/03/14 | 08.47.00 | 0Comment



Langit yang begitu gelap membuat suasana kota ini menjadi aneh. Lampu-lampu bewarna kuning keemasan mulai menyala di setiap sisi jalan. Aku berjalan menyusuri trotoar. Menengok ke kiri sesekali, berusaha mencari angkutan umum yang dapat membawaku pergi ke tempat tujuan. Sebuah angkutan umum yang menuju tempat tujuanku terlihat, aku melambaikan tangan. Tidak berhenti.

“Ah! Ayolah, aku harus mengejar seseorang!” umpatku setelah melihat mobil biru itu pergi dengan kencangnya.

Aku kembali menunggu, kembali menahan emosiku. Berharap angkutan umum yang sama akan segera datang menjemputku. Titik demi titik air mulai turun membasahi kota Malang. Sontak aku segera mengambil payung bewarna hitam dari dalam tasku. Tiba-tiba angkutan umum yang ku cari muncul, ku lambaikan tanganku sembari berharap. Syukurlah tuhan mendengar doaku, angkutan umum itu berhenti perlahan.

Hujan di sore itu turun dengan derasnya setelah aku menaiki angkutan umum itu. Aku melihat pemandangan yang ada di balik jendela angkutan umum yang kunaiki. Kota Malang tak pernah kehilangan pohon rindangnya. Selalu menyajikan panorama sejuk dan indah setiap harinya. Kuamati semua yang dapat aku lihat; rintik hujan, orang yang berteduh, payung berwarna-warni, sebagainya.

Kulirik jam di tanganku, berdesah pelan. Berharap orang yang kukejar masih dapat aku temui. Bodoh! Mana mungkin ia akan menungguku? Saat hujan seperti ini, semua orang ingin cepat-cepat berada di rumah. Mana mungkin ia mau menungguku dengan basah-basahan seperti itu? Hanya orang bodoh, yang mau menungguku; orang yang sama sekali tidak penting dalam hidupnya
.
Hatiku berharap, logikaku menyangkal. Aku hanya diam, dan pasrah.

“kiri,” ucapku dan ku berikan selembar uang dua ribu perak yang ada di tanganku.

Payungku terbuka, aku melangkah dengan menjinjing rok panjangku. Berusaha melindungi barang yang ku bawa dari serangan air yang jatuh dari langit itu. Kutolehkan sejenak kepalaku, mencari-carimu di tengah kerumunan orang-orang yang sedang berteduh. Sekali lagi berharap, kau tidak meninggalkanku. Aku tersenyum, kau sama sekali tidak terlihat di dalam pandanganku.

Aku kembali melangkah perlahan, menuju perempatan lampu merah untuk menyebrang. Tinggal satu lagi angkutan umum yang harus kutumpangi untuk sampai di rumah. Lampu hijau berganti lampu merah. Aku menyebrangi jalan, memegang payungku dengan erat agar tak kalah dengan angin. Sepatuku yang basah membuatku risih saat berjalan, tapi aku tetap berusaha cepat menyebrangi jalan itu.

Angkutan umum itu terlihat, dan lagi-lagi ia tidak berhenti. Aku berusaha tetap tersenyum dan bersabar, berpikiran semua yang ku lalui pasti ada hikmahnya. Tubuhku menggigil kedinginan. Payung kecil itu tak sanggup untuk melilndungiku dan tas yang ada di punggungku. Hujan ini memang lebih deras daripada yang biasanya.

Ku lambaikan tanganku lagi ketika angkutan umum yang ku tunggu lewat di depanku. Aku melangkahkan kakiku, menaiki mobli berwarna biru khasnya. Sepi, hanya ada supir dan satu penumpang. Angkutan umum itu berjalan sebentar, dan berhenti, menunggu ada orang yang akan naik ke dalamnya. Aku menunggu dengan diam didalam angkutan itu, tidak terlalu terburu-buru seperti tadi. Tujuanku sekarang bukan mengejar seseorang, tapi pulang untuk melepaskan segala letih yang aku rasakan.

Penumpang berikutnya adalah, kamu.

Aku tersenyum, berusaha menyembunyikan senyumku yang sangat lebar itu. Jadi kamu belum meninggalkanku? Bodoh! 

Bodoh, tapi manis. Aku tersenyum, lebih lebar.

Kau masuk ke dalam dengan keadaan basah kuyup. Rambutmu, kacamatamu, baju dan tas yang kamu pakai. Kamu menyisir rambutmu dengan jemari-jemari panjangmu. Kacamatamu yang basah kau lepas dan kau genggam. Butir-butir air yang tadi menghiasi wajahmu, hilang berganti dengan wajahmu yang lebih tampan sekarang.

Angkutan umum itu berjalan dengan keheningan. Tidak ada yang mulai menyapa, kau ataupun aku. Aku yang terlalu takut untuk menyapamu, walau sudah berkali-kali kita bertatap muka seperti ini. Kau juga diam saja, seperti tidak ingin berbicara. Sedikit kecewa memang, tapi tak apalah jika memang kita hanya bisa bercakap lewat pesan singkat. 

Aku sibuk melihat genangan air di jalan. Genangan setinggi mata kaki terlihat di setiap jalan yang dilewati angukutan itu. Banjirkah? Hujan ini memang deras, tetapi mengapa bisa hingga seperti itu? Setahuku, Malang tak pernah banjir, sekalipun itu hujan yang paling deras. Mengapa jadi seperti ini? Apakah Malang akan terus seperti ini, seperti Jakarta? Bukankah beberapa bulan yang lalu ada perbaikan gorong-gorong? Ah, Malang bukan kota yang indah seperti dulu lagi. Malang berubah, semakin padat, semakin panas.

Sesekali aku melihat ke arahmu, kamu juga sibuk melihat air hujan itu. Kekecewaan menghampiriku, lagi. Sampai kapan kita akan begini? Terus diam, tak pernah saling sapa, berbicara pada hati sendiri. Sibuk pada pikiran yang ada di otak masing-masing. Membiarkan waktu yang singkat ini habis oleh kesunyian dan derasnya hujan. Tetap diam, seperti tidak saling mengenal.

Mungkin benar, kau tadi tak menungguku. Mungkin kau menunggu cerah, menunggu munculnya matahari sebagai pengganti awan hitam ini. Menunggu hujan reda, bukan menunggu seorang perempuan yang bukan siapa-siapa dalam hidupmu. Bukan menunggu seorang perempuan, yang tidak berani menyapamu saat kita bertemu. Kau hanya menunggu hujan berhenti, sehingga kau tidak akan kebasahan dan sakit.

Mungkin harapanku tadi memang terkabul, aku memang bisa bertemu denganmu sekarang ini, seperti yang ku mau. Tapi jika seperti ini, kecewa, hanya itu yang kurasakan. Sejujurnya, aku harus bersyukur. Aku masih diberi kesempatan oleh tuhan untuk melihatmu dengan jarak sedekat ini. Aku yang tak tahu diri, selalu meminta yang lebih. Manusia memang serakah.

Tetap sunyi, tetap diam, tetap berpura-pura untuk tidak saling kenal.

Waktu yang singkat berubah menjadi lebih singkat. Sebentar lagi kau akan turun, dan kita tetap akan saling diam seperti ini? Jawabannya, iya. Kau tidak berbicara, aku tidak berbicara, saling mementingkan rasa malu. 

“kiri,” ucapmu, turun dan menyerahkan uang kepada sang sopir. Kau berlari, tanpa menoleh ke belakang untuk melihatku.

Aku tersenyum, berharap kau akan menoleh. Tapi, hingga angkutan umum ini melaju kembali, kau terus berlari hingga asa-mu tak terlihat olehku. Aku menghela nafas. Mencoba merelakanmu, merelakan kekecewaan yang ada di hatiku. Memperhatikan lagi air berwarna coklat mengalir dengan derasnya. Melawan semua yang menghalanginya.

Andai perasaanku ini bisa terbawa oleh air itu. Menuju ke sungai, mengalir ke laut, dan akhirnya menguap menjadi awan dan terbang bersama angin. Suatu saat akan kembali lagi, dalam hujan seperti ini, percuma.

Biarkan kejadian sore ini, ditonton hujan. Mungkin itu yang ia mau,sengaja  mempertemukan kita dan melihat kita saling diam. Terus diam hingga akhirnya kita benar-benar berpisah.

Label: