" F l o w e r "

flaw

Hai Welcome Here


" Cerita ini bukan tentang aku, kamu, ataupun dia. Ini tentang kita "

We can chatting here

<




Adakah waktu yang lebih lama untukku, memandangimu?}
09/03/14 | 01.10.00 | 0Comment


Sinar sang surya, yang selau tak pernah terlambat bangun menggangguku. Kelopak mataku berusaha melindungi mataku dari serangannya. Sesekali mataku berkedip beberapa kali berusaha mengusir matahari sialan itu. Kutelungkupkan kepalaku di bawah bantal, agak membantu. Matahari itu selalu mencari cara untuk mengerjaiku, yang masih ingin tidur dan tidak ingin pergi sekolah. Tunggu, apa aku bilang sekolah?

“SEKOLAH!”

Hari senin, hari yang bodoh! Mengapa tak ada yang membangunkanku? Kemana perginya semua penghuni rumah ini? ‘oh, berhentilah mengumpat’ kataku kepada diriku sendiri. Semua kulakukan secepat mungkin, menimbulkan suara gaduh yang mungkin terdengar setiap pagi. Kubereskan semua catatan fisika di meja belajar, kujejalkan begitu saja ke dalam tas. Menyambar roti panggang yang sudah dingin dan meminum sedikit susu putih yang disiapkan ibuku. Oh! Aku bahkan tidak sadar bahwa ibuku sedang menonton tv dan ia memang sengaja tidak membangunkanku. Jahatnya!

“Sudah bangun? Sebaiknya kau cepat berangkat dan menemukan angkutan umum atau ojek, terserahlah,” ucap ibuku cuek selagi aku berusaha menelan roti goreng yang keras itu.

“Awjyah kewmanaw?”

“Apakah kau tak bisa melihat jam? Sudah jelas, ayahmu tak akan mau menunggumu!”

Bolehkah aku mengatakan sekali lagi? Dalam hati, maksudku.
‘Sialan! Dasar orangtua tidak berperikeanakan sekali!’

Aku memutuskan naik ojek. Hembusan angin merusak rambutku yang telah kutata serapi mungkin. Helm yang aku pakai juga berbau tidak enak. Seharusnya aku tidak peduli hal-hal tidak penting itu, seharusnya aku memikirkan bagaimana cara masuk ke sekolah jika gerbang hitam itu telah ditutup. Haruskan aku menyogok satpam mata duitan itu? Ayolah, aku tak sempat mengambil uang tadi. Atau aku harus lompat? Aku menggelengkan kepalaku, cara itu dapat merusak repotasiku. Semoga gerbang besar gelap itu belum dikunci.

Dan di saat yang tidak tepat, aku baru ingat jika jam pertama akan ada ulangan fisika! Bagus, aku sudah terlambat 10 menit!

Otakku mulai mengingat kembali rumus-rumus gila yang kemarin aku pelajari. Menjelajahi seluruh file-file yang tersimpan di otakku untuk menemukan rumus-rumus itu, yang tidak tahu menyelinap di bagian mana. Seperti mencari semut di antara gajah-gajah gemuk! Aku tidak ingat sama sekali, apa yang kulakukan kemarin malam sih? Apa aku tidak belajar? Dan aku baru ingat, kemarin aku menonton drama Korea yang baru aku copy dari temanku.

Aku benci hari SENIN!

**
Mungkin aku tidak sial-sial sekali. Buktinya gerbang masih di buka, entah kemana satpam gendut mata duitan itu. Mungkin perutnya mulas. Aku berlari melewati segerombolan anak yang sedang olahraga di lapangan. Kelasku berada di sisi lain lapangan tersebut. Dan sialnya, tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di depanku. Aku terlalu cepat, aku tak bisa mengontrol kecepatan lariku sekarang, aku tidak bisa berhenti!

“Awas! Minggir!”

Terlambat.

Aku menindih tubuh seseorang yang baru kusadari jenis kelaminnya adalah laki-laki. Aku segera berdiri, membersihkan debu-debu kasat mata di bajuku. Cowok itu berdiri. Dia! Dia adalah cowok yang sering kuperhatikan, tanpa aku tahu namanya. Dia merapikan rambutnya yang berantakan, membersihkan debu di  bajunya, memeriksa kedua sikunya apakah ada yang terluka.

Aku berdiri di hadapannya, sedekat ini. Kuperhatikan lagi wajahnya, benar, dia adalah cowok yang sering kali menyita rasa ingin tahuku. Dia adalah cowok yang sering aku perhatikan saat aku berada di kantin. Suara tertawanya, gerak tanganya ketika dia makan, senyum jail yang ia keluarkan, semua itu menyita perhatianku. Entah sejak kapan aku jadi rajin mengamatinya. Yang kutahu, dia berada di kelas IPA-2. Sayangnya aku tak punya keberanian untuk berkenalan, ataupun bertanya namanya kepada temanku.

“Kamu enggak apa-apa?”

Aku hanya bisa menggeleng. Ayolah! Aku yang menabraknya, seharusnya aku yang bertanya begitu. ‘dasar anak tak tahu diri!’ kataku menjelek-jelekan diri sendiri di dalam hati.

“Emm, kayaknya sikumu berdarah deh” dia menggerakkan tangannya untuk mengecek sikuku. Ada goresan yang mengeluarkan cairan bewarna merah darah di sana. Aku meringis menahan sakit.

“sikumu berdarah, ayo aku obati di UKS.” Katanya sambil menggenggam tanganku menuju ke UKS. Dia berhenti, menoleh kepada temannya dan berkata, “Kalian duluan aja,”.

Entah apa yang membuatku tak bisa menolak ketika ia membawaku ke UKS. Wajahnya yang mempesona? Atau matanya yang bening dengan pupil bewarna coklat itu? Atau, perhatiannya itu? Aku tak tahu. Yang kusadari, hatiku mulai mendesir saat ini.

Aku memperhatikannya saat ia mengambil baskom dan mengisinya dengan air. Tangannya yang cekatan mengambil perban dan obat merah. Tangannya yang menyentuh sikuku dengan hati-hati dan membersihkan lukaku dengan air. Ia mulai menggunting perban, meneteskan obat merah di lukaku, lalu menutupnya dengan perban. Aku perhatikan dirinya dengan seksama.

“Selesai,” ucapnya. Ia tersenyum dan membereskan peralatan yang telah ia gunakan.

“Terima kasih,” hanya itu yang bisa aku ucapkan saat ini.

Dia berbalik badan, tersenyum, lalu melanjutkan kesibukannya. Aku terdiam. Atmosfir aneh menyelimuti ruangan ini, membuatku tidak tahu harus berkata apa. Dia diam, aku diam, kesunyian tertawa menang melihat kami berdua. Mungkin aku harus pergi. Urusanku dan dia sudah selesai. Mungkin setelah ini, aku hanya bisa melihatnya diam-diam, lagi.

“Aku Andi,”

Suaranya menghentikan tawa keras sang kesunyian. Suaranya yang tidak terlalu berat juga tidak terlalu nyaring terdengar nyaman saat masuk di telingaku. Dia berdiri di hadapanku seperti tadi. De ja vu. Baru kusadari mukanya yang basah, setetes demi tetes air meluncur melewati pipinya dan berakhir di dagunya, lalu jatuh ke lantai. Rambutnya juga basah. Ia baru saja mencuci wajahnya, dan membuat wajah itu semakin tampan di mataku. Senyumnya yang selalu menawan tak hilang dari wajahnya.

“Aku, Rani, IPA-5” ucapku sembari melawan desiran hatiku.

“Aku IPA-2. Kalau gitu, aku mau ke lapangan lagi. Kamu sebaiknya segera ke kelasmu.” Dia melangkah pergi.

Ada yang hilang saat aku melihatnya melewati pintu UKS yang terbuka lebar itu. Entah mengapa, aku berharap dia akan kembali ke dalam ruang ini. Setidaknya, menoleh untuk yang terakhir kalinya dan tersenyum kepadaku. Aku menghela nafas. Ya, betul apa yang dia katakan. Aku sebaiknya kembali ke kelas. Untuk apa aku duduk termenung di sini? Untuk mengenangnya? Aku memang tidak tahu diri. Apa yang harus aku harapkan dari perkenalan singkat ini? Berharap suatu saat dia akan menaruh hati padaku? Dasar pemimpi.

Aku melangkahkan kakiku setapak demi setapak keluar dari ruang bersejarah itu. Mengenggam sikuku yang tadi sempat dipegang olehnya. Berusaha menjaga ingatan saat ia tersenyum kepadaku. Menuju kelasku, menatapnya bermain basket di lapangan, berharap dia melihatku dan melambaikan tangannya ke padaku. Tapi, sampai aku tiba di depan pintu kelas, dia tidak menyadari bahwa aku ada di sana, melihatnya. Mungkin aku bisa menjadi secret admire-mu setelah ini. setelah ini, dan sampai kapanpun.

“Rani! Sudah jam berapa ini?”
 
Aku hanya menunduk, membayangkan wajahnya, sekali lagi.

Label: